JAKARTA, Wartapawitra.com -Dalam arsitektur agung Nahdlatul Ulama, kita diajarkan untuk menengadah ke “langit” Syuriyah dengan penuh takzim. Di sanalah bersemayam para al-mukarromun, penjaga gawang moral, pewaris para nabi yang titahnya adalah pedoman dan diamnya adalah hikmah. Posisi Rais Aam, sebagai pucuk tertinggi dari hierarki ini, adalah manifestasi dari supremasi moral tersebut. Ia adalah paku bumi yang menjaga keseimbangan jagad jam’iyah.
Namun, hari-hari ini, kita dihadapkan pada sebuah paradoks teologis-organisatoris yang menggelitik akal sehat kaum santri: Apakah supremasi moral itu identik dengan kekuasaan absolut? Apakah kedudukan yang luhur memberikan privilege untuk melompati pagar-pagar aturan yang telah disepakati bersama dalam Muktamar?
Ketika terdengar kabar tentang tindakan sepihak—sebuah pemecatan atau pemberhentian mandataris Muktamar tanpa melalui lorong-lorong prosedur yang sah—kita tertegun. Bukan karena kita membela personalia yang dipecat, melainkan karena kita mencintai marwah yang memecat. Kita bertanya dengan lirih: Mengapa justru penjaga konstitusi yang terlihat seolah sedang merobek halaman konstitusi itu sendiri?
Kekuasaan yang Dibatasi: Tiga Cermin Kaca
Untuk memahami letak “keseleo” logis ini, mari kita bercermin pada tiga analogi sederhana namun mendasar.
Pertama, Cermin Ketatanegaraan. Di sebuah negara hukum, seorang Presiden adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Ia memegang pedang kekuasaan. Namun, sehebat apa pun mandat rakyat di pundaknya, ia tidak boleh memecat pejabat tinggi atau membubarkan lembaga sesuka hati tanpa merujuk pada Undang-Undang Dasar. Mengapa? Karena kekuasaan itu lahir dari aturan, maka ia harus tunduk pada aturan. Jika seorang Presiden bertindak melampaui konstitusi, ia bukan lagi sedang memimpin demokrasi, melainkan sedang mempraktikkan absolutisme. Di NU, AD/ART adalah “konstitusi” kita. Ia adalah akad (perjanjian) suci yang mengikat dari ranting hingga pusat. Melanggarnya atas nama “kekuasaan tertinggi” adalah sebuah oksimoron.
Kedua, Cermin Keislaman. Mari kita renungkan hal yang lebih sakral. Al-Qur’an adalah Wahyu Tuhan yang absolut, kebenaran mutlak yang tak terbantahkan. Namun, apakah absolutisme teks suci ini boleh ditafsirkan dan dieksekusi secara sembarangan? Tidak. Para ulama menyusun Usul Fiqh. Ada syarat istimbath, ada nasikh-mansukh, ada pertimbangan maqashid syari’ah. Bahkan Tuhan “membatasi” cara manusia memahami firman-Nya dengan metodologi yang ketat agar tidak terjadi kekacauan tafsir. Jika firman Tuhan saja memerlukan metodologi dan adab penafsiran, apalagi sekadar keputusan organisasi. Sebuah keputusan strategis tanpa tabayyun, tanpa SP (Surat Peringatan), dan tanpa mekanisme yang benar, ibarat menafsirkan ayat pedang tanpa melihat konteks damai: berbahaya dan berpotensi zalim.
Ketua, Cermin Etika Pesantren. Di pesantren, kiai yang paling sepuh dan alim biasanya adalah yang paling irit bicara dan paling “takut” menggunakan kekuasaannya. Kiai luhur dikenal karena kemampuan imsak (menahan diri), bukan mengumbar veto. Keagungan seorang Rais Aam justru terpancar ketika beliau mampu menundukkan ego kekuasaan di bawah disiplin aturan yang beliau jaga sendiri. Melanggar aturan demi memaksakan kehendak bukanlah ciri karamah, melainkan gejala ghadab (amarah) yang terselubung jubah jabatan.
Salah Kamar: Penjaga Nilai vs Eksekutor
Ada kesalahpahaman fundamental yang sepertinya sedang terjadi: mencampuradukkan maqam Syuriyah dengan maqam Tanfidziyah.
Syuriyah adalah maqam nilai, maqam pengarah, dan maqam pengendali. Wilayahnya adalah fatwa, etika, dan garis besar haluan. Sementara Tanfidziyah adalah wilayah eksekutif, manajerial, dan teknis. Ketika Syuriyah turun tangan langsung memecat personel eksekutif tanpa prosedur, Syuriyah sedang menurunkan derajatnya sendiri dari “Begawan” menjadi “Manajer HRD”.
Rais Aam adalah simbol dari legitimasi langit. Jika simbol ini terseret dalam lumpur konflik teknis dan mengabaikan prosedur bumi (AD/ART), maka sakralitas itu luntur. Kita merindukan Syuriyah yang menegur dengan isyarat halus namun mematikan bagi nafsu angkara, bukan Syuriyah yang menggunakan palu godam administratif secara serampangan.
Ketua Umum Tanfidziyah, suka atau tidak suka, adalah mandataris Muktamar. Ia dipilih oleh ribuan suara perwakilan cabang dan wilayah. Ia bukan staf yang diangkat oleh Rais Aam, sehingga tidak bisa diberhentikan semata-mata karena “hilangnya selera” atau ketidakcocokan subjektif. Menghormati prosedur pemberhentian (yang rumit dan bertingkat) sejatinya adalah menghormati suara ribuan kiai kampung yang telah memberikan mandat di Muktamar.
Ujian Kepemimpinan Moral
Tulisan ini bukanlah sebuah pemberontakan, melainkan sebuah tadzkirah (peringatan) cinta dari anak kepada bapaknya. Kita mencintai NU melebihi kecintaan kita pada figur mana pun.
NU bertahan lebih dari satu abad bukan karena kita memiliki “Ratu Adil” yang memiliki kekuasaan tanpa batas. NU bertahan karena kita memiliki sistem, kita memiliki adab, dan kita memiliki mu’ahadah (kesepakatan) untuk saling membatasi diri demi kemaslahatan bersama.
Kepemimpinan moral sejati tidak diuji saat seorang pemimpin memiliki kuasa untuk memecat siapa saja. Kepemimpinan moral diuji justru ketika pemimpin tersebut memiliki kekuasaan besar, namun memilih untuk berhenti sejenak, membuka kembali kitab AD/ART, dan berkata pada dirinya sendiri: “Saya bisa melakukannya, tapi aturan melarang saya. Dan karena saya adalah penjaga moral, maka saya yang pertama kali harus tunduk pada aturan ini.”
Di situlah letak kewalian seorang pemimpin organisasi. Mari kita kembalikan NU pada relnya: di mana Syuriyah menjadi langit yang mengayomi dengan bijak, bukan langit yang runtuh menimpa bumi hanya karena cuaca sedang buruk.
Penulis : Abu Fahira (Alumni Pondok Pesantren Irsyadul Mubtadi-ien)


